Cari Blog Ini

  Masjid Al Muhajirin 1 Oleh : Imla Qolbi September 2010, aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang penuh polusi ini. Mengapa...

Al Muhajirin 1

 

Masjid Al Muhajirin 1

Oleh : Imla Qolbi

September 2010, aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang penuh polusi ini. Mengapa aku katakan demikian? Karena kota ini dipenuhi oleh berbagai macam industri. Di sepanjang jalan utama, banyak aku temui gerbang-gerbang perusahaan yang menjulang tinggi. Asap knalpot dari sepeda motor dan angkutan umum sangat menyesakkan dada. Jalanan yang sepit, ditambah volume kendaraan yang tinggi membuat lalu lintas macet. Sopir-sopir angkot saling berebut jalan, lampu lalu lintas di persimpangan jalan tidak kuasa mengurai kemacetan. Polisi meniup peluit dengan nyaring. Pengamen naik turun angkot untuk mencari recehan. Semua itu adalah pemandangan yang setiap hari terlihat, terutama saat jam berangkat dan jam pulang kerja.


Walau demikian, aku bersyukur karena tidak harus mengalami kondisi tersebut setiap hari. Hal itu karena aku tinggal di mess, sebutan untuk asrama untuk karyawan.


Seminggu sejak kedatanganku di sini, aku mendaftar untuk masuk mess atau asrama karyawan. Tempat itu ada di dalam lingkungan pabrik. Mess yang aku tempati terbilang cukup nyaman. Satu kamar dihuni maksimal delapan orang. Ada tempat tidur bersusun. Di bawah muat untuk empat orang, dan di atas muat untuk empat orang. Disediakan loker kecil untuk menyimpan baju dan barang-barang yang lain. Di belakang, ada kamar mandi yang luas dengan bak mandi besar. Dan di depan, ada teras yang bisa digunakan untuk menjemur pakaian.


Tinggal di mess adalah alternative paling tepat yang bisa aku pilih. Mess sudah menyediakan semua kebutuhan karyawan. Air, listrik, air minum, bahkan makan sudah disediakan oleh pabrik secara gratis. Namun, jika ingin keluar untuk jajan juga bisa. Hal yang lebih menyenangkan lagi buatku adalah Masjid Al Muhajirin 1.


Oke. Aku ceritakan dulu tentang Al Muhajirin 1.


Aku bekerja di sebuah perusahaan besar yang mempunyai sekitar delapan puluh ribu karyawan. Luas tanah perusahaan hampir setara dengan luas desaku. Tapi ini hanya perkiraanku saja, karena aku tidak pernah serius mengukurnya. Saking luasnya perusahaan ini, ada enam masjid yang didirikan di masing-masing divisi yang berbeda. Namanya Masjid Al Muhajirin 1 sampai Masjid Al Muhajirin 6—ketika aku masuk, Masjid Al Muhajirin 6 belum didirikan—. Masjid-masjid ini ada di bawah naungan DKM (Dewan Keluarga Masjid). Nah, aku menjadi salah satu anggota dan pengurus di Masjid Al Muhajirin. Tepatnya Masjid Al Muhajirin 1. Latar belakang pendidikanku yang notabenenya pernah mondok di pesantren, membuat mereka tertarik untuk merekrutku menjadi pengurus.


Masjid Al Muhajirin 1 ini, tidak hanya digunakan untuk shalat jum’at bagi karyawan saja. Di masjid ini, setiap hari ada kegiatan yang berjalan. Mulai dari kajian fiqih, kajian akhlak, kajian tajwid, belajar tilawatil qur’an, dan khitobah. Bahkan di hari libur, sering ada kegiatan di masjid. Walau hanya mencuci mukena bersama.


Masjid Al Muhajirin 1 seperti rumah kedua. Seperti keluarga kedua. Bersama Masjid Al Muhajirin 1, waktu terasa berjalan cepat. Hingga tiada terasa, satu tahun telah berlalu. Benar. Aku pulang setahun sekali menjelang lebaran karena memang aku belum mendapatkan jatah cuti tahunan. Namun, siapa sangka, aku yang sebelumnya tidak pernah jauh dari keluarga, ternyata betah dan kerasan hidup di kota orang. Tak lain dan tak bukan, adalah Al Muhajirin 1 yang menjadi tokoh penting, sehingga membuatku bertahan bahkan hingga bertahun-tahun kemudian.


0 comments: