“Ayah, kenapa kita harus membaca? Kita
kan tinggal di desa? Bukankah membaca itu pekerjaan orang kota?”
Demikianlah sepenggal kalimat yang ada di sampul buku ini. Kalimat yang menggelitik. Disampaikan oleh seorang anak yang masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kalimat ini kemudian membuat saya penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang isinya.
Novel ini bercerita tentang Rudi, anak kecil yang tinggal di desa pedalaman Sulawesi Selatan. Rudi kecil sering melihat ayahnya membaca koran bekas dan buku-buku tebal karangan HAMKA. Tinggal di pedalaman tidak menghalangi ayahnya untuk melihat dunia lewat membaca. Hal itu juga dilakukan untuk memberi teladan nyata kepada anaknya. Ayahnya ingin dia menjadi ilmuwan seperti Habibi. Oleh karenanya dia diberi mana Baharudin. Ibunya ingin dia menjadi pengusaha sukses seperti Jusuf Kalla. Oleh karenanya ibunya memanggilnya Sufu. Sedangkan di sekolah dia dipanggil dengan nama Bahar. Setelah kejadian banjir di desanya, Pak Kades memberinya gelar Putra Salju, karena berhasil menyelamatkan arsip desa yang sangat berharga.
Novel memoar ini adalah definisi masa kecil bahagia yang ditulis oleh Salman el-Bahry, seorang Bugis asli yang menimba ilmu hingga ke pulau Jawa. Cerita tentang masa kecil penulis yang tinggal di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota dengan segala keterbatasan informasi. Kisah seru ala anak kecil yang suka nonton serial Wiro Sableng dengan segala imajinasinya. Salman adalah anak pada umumnya, yang bermain dengan teman-teman sebayanya, dan menyukai gadis manis tetangganya. Membaca novel ini membuat pembacanya terhibur dengan pengalaman masa kecilnya. Mulai dari ingin mempunyai kesaktian seperti Wiro Sableng, coba-coba ajian supaya kebal digigit hewan buas, hingga cerita saat mengikuti lomba panjat pinang hidup.
Novel ini juga mengajak kita untuk menyelami kehidupan penduduk petani sawit yang nomaden, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Mengajarkan kepada kita tentang semangat menuntut ilmu dan pentingnya membaca walau dengan segala keterbatasan. Jadi, sangat pantas jika novel ini diberi label novel motivasi.
O iya, tapi saya penasaran. Bagaimana kisah
Rudi dengan Putri Ayu? Berhasilkah Rudi mempersunting gadis Ponorogo tersebut?
0 comments: