Cari Blog Ini

Ilustrasi cerita (Sumber: Barismimpi10)     (Sebuah Memoar)     Gelap masih menyergap. Sisa-sisa air hujan masih menetas dari genteng. Bunyi...

Hidup Belum Tamat, Ada Tomat

Ilustrasi cerita (Sumber: Barismimpi10)

    (Sebuah Memoar)

    Gelap masih menyergap. Sisa-sisa air hujan masih menetas dari genteng. Bunyinya menenangkan, terkesan magis di tengah pekatnya malam tanpa bintang dan sinar rembulan. Mendung masih menggantung, begitu pula dengan kaki tua itu yang masih setia mengayuh sepeda yang sama tuanya. Sesekali, sepeda lain menyalip jalannya, dan sesekali raungan sepeda motor yang knalpotnya bocor mengganggu telinganya. 


    Udara masih teramat dingin menembus tulang. Lelaki tua itu hanya mengalungkan sarung di leher untuk mengusir udara dingin. Setelah lebih dari satu jam mengayuh sepeda, ia sampai di rumah, dan mengetuk pintu.


    “Buk.. buk..” Ia memanggil istrinya yang mungin masih terlelap dalam mimpi.

    “Buk.. buk..” Ulangnya lagi saat pintu belum juga terbuka. Bintang di langit mulai terlihat. Tandanya awan mendung menghilang. Pagi sebentar lagi akan datang.


    Pintu terbuka. Seorang wanita setengah baya berusia empat puluhan muncul di balik pintu dengan mata yang sedikit terpejam. Lelaki tua itu masuk membawa sepedanya. 


   “Bagaimana, pak, terjual semua?” Tanya si istri kepada lelaki tua. Hilang sudah rasa kantuknya ketika melihat suaminya pulang. 


    Alhamdulillah, buk, tapi harganya anjlok, sekilo hanya dua ratus rupiah saja. Ini uangnya, sisa tak buat beli kopi, dan ini aku bawa kacang panjang. Tadi ada setoran baru, harganya cukup murah.” Lelaki tua itu memberi penjelasan pada istrinya sambil menyerahkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan lima ribuan. Terlihat dunak (wadah dari anyaman bambu) isi dagangannya telah kosong. Begitu juga dengan karung beras dan tas jinjing yang tadi dibawa.


    “Ya sudah, tidak apa-apa, bapak istirahat dulu.” 

    Lelaki tua itu masuk ke kiwan (sebutan untuk kamar mandi ala kadarnya), bersih-bersih sebentar, dan bersiap untuk tidur. Punggung dan kakinya terasa kebas setelah mengayuh sepeda dalam dinginnya malam. Belum lagi puluhan kilo barang dagangan yang ia bawa. Masih ada waktu dua jam untuk tidur sebelum adzan subuh berkumandang.

***


       Apakah kamu bingung dengan apa yang dilakukan lelaki tua itu malam-malam? Oke, aku jelaskan. 


    Pasangan suami istri itu adalah seorang petani. Saat musim hujan, mereka menanam padi. Saat musim kemarau, sawah mereka ditanami palawija. Terkadang kacang tanah, kacang hijau, kadang pula ditanami tomat. Tahun ini, lelaki tua yang punya sepetak sawah kecil itu lebih memilih menanam tomat. Walau harus rajin menyirami, tapi si kecil merah yang asam itu bisa dipanen berulang kali. Jika sudah berbuah, dua atau tiga hari sekali, lelaki tua itu bisa mengambilnya untuk dijual. 


    Sayangnya, harga jual tomat tidak sebaik kacang hijau, saat negeri ini mulai memasuki era milenial, tomat hanya dihargai Rp.150,- per kilogram, Rp.200,- per kilogram, dan paling tinggi Rp.500,- per kilogram. Sesekali pernah sampai Rp.1000,- per kilogram. Lebih berat lagi, saat lelaki tua itu harus menjual tomat di malam hari. 


    Ketika orang lain terlelap dalam mimpi, lelaki tua itu harus mengayuh sepedanya melintasi jarak delapan kilometer untuk menjual tomat. Sepeda yang sudah sama tuanya itu diberi beban puluhan kilogram tomat. Dunak ditaruh di boncengan belakang, ditimpa dengan karung berisi tomat, dan tas jinjing disampirkan pada lengan sepeda. 


    Dengan kaki tuanya, ia masih semangat mencari rezeki di malam hari. Mencari sedikit recehan untuk makan sehari-hari. Lelaki tua itu masih punya seorang anak yang harus ia bantu pendidikannya. Berharap, dengan sedikit usaha yang ia lakukan, bisa membantu membuat anaknya mengenyam pendidikan yang layak.

***


    Ayam jantan berkokok. Setelah mengepakkan sayapnya, suara ayam jantang nyaring terdengar di mana-mana. Saling sahut-sahutan, meramaikan pagi. Lelaki tua dan istrinya juga mempunyai beberapa ekor ayam. Selain karena senang memelihara ayam, juga bisa digunakan untuk membantu mengepulkan dapur saat sawah sedang tak ada tanaman. 


    Istrinya bangun, shalat subuh jamaah di musholla, dan langsung berkutat dengan dapur. Mencuci beras, menyalakan kayu bakar, dan mulai menanak nasi. Belum ada kompor gas saat itu. Setidaknya, tidak ada di desa mereka. Udara dingin yang masuk melalui celah-celah anyaman bambu tidak terasa saat api mulai menyala. 


    Seorang anak perempuan menginjak usia remaja masuk ke dapur. Mencari kehangatan dengan duduk di tepan tunggu. 


    “Biarkan saja itu kayunya, nduk. Nanti malah mati.” Kata ibunya. Anak perempuan itu seperti tak menghiraukan. Dia masih saja sibuk mengutak-atik kayu di dalam tungku. Sesekali dia memasukkan daun-daun kering, remahan kayu, atau kertas-kertas yang berserakan di samping tungku. 


    “Disuruh biarkan saja kok ya masih di utak-atik terus. Biarkan hidup itu api.” Ibunya mulai terlihat kesal. Anak perempuannya hanya nyengir kuda dan masih memainkan kayu di tangannya. 


    Satu jam kemudian, saat matahari mulai hilang cahaya kemerahannya, masakan sudah matang. Nasi putih hangat, sayur bening daun ubi jalar dan oyong, serta tempe goreng. Anak perempuan itu makan dengan lahap dan lelaki tua yang telah begadang semalaman meminum kopi buatan istrinya. Hanya sepertiga gelas. Sepertiganya akan ia minum nanti siang, dan sepertinganya lagi menjelang sore. Setelah itu, ia sarapan dan berangkat ke sawah. Lelaki tau itu diminta memanen tomat tetangganya untuk dijual nanti malam. Tomat miliknya sendiri tidaklah seberapa.


    Itulah hidup lelaki tua dan istrinya. Mereka hanya bisa berusaha mencari nafkah dengan cara demikian. Merasakan pendidikan hanya sampai sekolah dasar, (dulu namanya masih sekolah rakyat), bertani menjadi satu-satunya ketrampilan yang ia miliki. Namun, lelaki tua itu tak ingin membuat anaknya bernasib sama sepertinya. Anak-anaknya harus sekolah tinggi, dan punya kehidupan yang lebih baik darinya. Bukan masalah jika ia harus banting tulang untuk itu semua.


    Menantang panas terik matahari di siang hari, dan membungkus dinginnya gelap di malam hari. Saat aku menemuinya, tak sekalipun aku melihat raut lesu, letih, bahkan penyesalan atau amarah akan garis takdirnya. Wajahnya terlihat tenang dan damai saat menceritakan keluarganya. 

***


    Malam kembali datang. Saatnya lelaki tua itu mengayuh sepedanya melintasi jalanan malam yang sunyi. Melawan dinginnya udara. Kali ini, ia hanya membawa sedunak tomat yang terlihat masih agak hijau, dan satu tas jinjing di lengan sepeda. Berapapun tomat yang ia bawa malam ini, harapannya hanya satu. Agar tomat itu laku terjual dengan harga yang pantas, lalu istrinya bisa mengepulkan dapur mereka beberapa hari ke depan. 

Baca juga Dia, Gadis yang Bersembunyi dari Dunia


0 comments: