Aktivitas di rumah juga berjalan seperti biasa. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Membuat nasi goreng untuk sarapan, karena kebetulan ada nasi sisa yang cukup banyak kemarin. Kakak menyalakan laptopnya, entah membuat apa. Kulihat, lembar Microsoft Word sedang terbuka.
Satu yang berbeda adalah cuacanya. Sudah saatnya matahari terbit, namun mendung masih setia bertengger di langit. Menghalangi matahari yang hendak memberikan kehangatan kepada penghuni Bumi.
Angin mulai bertiup kencang. Awan hitan bergerak dengan cepat dari barat ke timur. Burung-burung prenjak berterbangan kesana-kemari. Pucuk pohon lamtorogung bergoyang mengikuti tiupan angin.
Aku memandang jauh dari jendela kamarku. Meresapi udara dingin, tampias rintik-rintik hujan yang terbawa angin, dan aku menghela nafas. Kututup jendela kamarku, karena hujan mulai deras. Aku suka melihat langit, bahkan saat mendung hitam seperti ini. Saat memandang langit, aku merasa lebih tenang. Aku bisa melihat objek paling jauh. Aku juga bisa memandang luas ke segala arah. Lalu, aku akan kembali teringat diriku di masa lalu, dan diriku di masa sekarang.
"Sa, ayo sarapan, kamu ke sekolah kan hari ini" Ibu menengok ke kamarku.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.15 WIB. Benar, ternyata aku terlalu lama berdiam di kamar.
"Iya, bu.. " Aku menjawab singkat sambil tersenyum tipis.
Aku, ibu dan kakak makan bersama. Kebetulan kakak iparku sedang di rumah orang tuanya, untuk menjaga adiknya. Katanya orang tuanya sedang dinas beberapa hari di luar kota.
"Bu, ada yang mau nraktir makan di Lamongan" Kakak tiba-tiba nyeletuk. Aku hanya melirik sekilas.
"Siapa? " Jawab ibu.
"Tuh, ada yang lagi ulang tahun" Kata kakak Sambil melirikku lagi.
"Waah, harusnya kamu yang ntraktir aku, kan aku yang ulang tahun"
"Ya nggak lah, yang ulang tahun yang harusnya ntraktir, kan syukuran"
"Aku kan nggak pernah bilang mau ntraktir, karena kamu yang pertama bilang, jadi kamu yang harus ntraktir, aku yang ulang tahun, jadi aku yang harus disenengin dong"
"Nggak bisa....... "
Perdebatan masih berlanjut antara aku dan kakakku. Saling melempar siapa yang harusnya mentraktir.
Tentu saja, itu semua hanyalah gurauan. Kami tidak pernah benar-benar merayakan ulang tahun. Hari ulang tahun bukanlah hari spesial di keluargaku. Tidak ada ucapan selamat. Bahkan kadang kami lupa hari ulang tahun antara satu sama lain.
Pukul 12.00 WIB, sekolah usai. Aku mengajar di sebuah SD di kecamatan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya butuh waktu seperempat jam untuk sampai.
Pulang sekolah, tidak seperti biasanya, aku mampir ke warung bakso dekat sekolah
Bersama beberapa rekan guru, kami memesan bakso urat dan es kelapa muda. Kebetulan hari ini weekend, dan kami semua masih jomblo.
Elsa adalah namaku, dan hari ini aku genap berumur tiga puluh tahun. Yuni, temanku, tiga tahun lebih muda dariku, dan Mai, masih fresh graduate. Kami semua masih sendiri. Mungkin karena kesamaan itulah, kami lebih akrab dibandingkan dengan rekan guru lain yang sudah berkeluarga.
"Mbak Elsa, mau nggak aku kenalin dengan sepupuku. Dia juga guru mbak, sudah PNS malah" Yuni yang berkata demikian. Dia pantang menyerah sekali mencarikanku jodoh. Sepertinya ini sudah ke delapan kalinya dia menawarkan laki-laki kepadaku.
"Ayolah Yuni, jangan mulai lagi, nanti aku nggak jadi makan, apa aku pulang duluan aja ya" Kataku. Sebenarnya aku sudah tak punya alasan lagi untuk menolak, tapi aku sungguh tidak ingin membicarakan itu sekarang.
"Iya, Yuni nih, mbak Elsa tuh udah gede, nggak usah dipaksa, nanti kalau sudah ketemu yang cocok juga pasti langsung gasken" Mai memang paling mengerti aku.
"Iya sih Mai, tapi sayang banget gitu. Mbak Elsa nggak boleh dapat sembarang orang ya, harus yang baik pokoknya"
"Tenang aja, mbak Yuni, mbak Elsa pasti dapat orang baik. Kan katanya orang baik jodohnya juga orang baik" Mai ini bukan muslim. Dia orang Tionghoa, tapi sejak kecil tinggal di Indonesia.
Makanan pesanan kami datang. Saat aku mulai menyendok bakso, gerakan tanganku terhenti.
"Elsa.. "
Suara itu, aku sangat mengenal suara itu. Kudongakkan kepala, dan benar saja, orang itu ada dihadapanku. Tersenyum sambil berkata "apa kabar, Elsa"
Aku diam terpaku. Orang itu adalah alasanku belum menikah sampai usia tiga puluh tahun.
0 comments: